Pada
kesempatan kali ini kita akan membahas tentang pengertiandan contoh beberapa ushul dari madzhab maliki, diantaranya:
1. Qiyas.
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur,
seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi
yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga
berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang
lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari
persamaan-persamaannya
Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian
atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dalam Al- Qur’an dan Sunah dengan
cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat -alasan-
antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Contoh:
a. Minuman
keras adalah sesuatu yang tidak ada hukum
nashnya dalam Al- Qur’an maupun sunah( yang mana disebut Far’u ), disini kita
men- qiyas- kan minuman keras dengan khamr yang telah jelas hukumnya dalam Al-
Qur’an dan As- Sunah( Ashl) yaitu haram dengan alasan sama- sama memabukkan
jika diminum.
b. Hukum rokok
tidak terdapat dalam Al- Qur’an maupun Sunah, tapi para ulama bersepakat bahwa
hukum rokok adalah haram, walaupun ada beberapa ulama yang menganggapnya
makruh, dalam hal ini hukum rokok di-qiyas-kan dengan hal- hal yang membuat
orang membinasakan diri sendiri.
2. Istihsan.
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik.
Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada
hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar
dalil syara
Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada
hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara` yang mengharuskan untuk
meninggalkannya.
Contoh:
a. peristiwa
ditinggalkannya hukum potong tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin
Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri harus dipotong tangannya. Itu adalah
suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini ditinggalkan kepada hukum lainnya,
berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum berikutnya, dengan suatu
dalil tertentu yang menguatkannya.
Mula-mula peristiwa atau
kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu pencuri harus
dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk
meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu,
pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun dalil pertama dianggap kuat,
tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.
b. sisa minuman
burung buas, seperti elang, burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal
diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan.
Padahal seharusnya kalau
menurut qiyas (jali), sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan
burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah
bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang
buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat
minumnya.
Sedangkan menurut qiyas
khafi, burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas. Mulut
binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas
merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat
tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak
bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab di antara oleh paruhnya,
demikian pula air liurnya.
Dalam hal ini keadaan
yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang
buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada
qiyas khafi, yang disebut istihsan.
3. Maslahah
Mursalah.
Dilihat dari segi bahasa maslahah mursalah terdiri dari kata maslahah &
mursalah, kata maslahah sama seperti kata manfa’ah, baik artinya maupun
wazannya (timbangannya), yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat
ash-shalah, seperti lafaz manfa’ah sama
artinya dengan an-naf’u.
Dari segi istilah maslahah mursalah adalah menetapkan hukum suatu masalah yang
tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan.
Al-khawarizmi mendefinisikan maslahah mursalah sebagai berikkut :
“Memelihara tujuan hukum Islam dengan mencegah kerusakan/bencana
(mafsadat) atau hal-hal yang merugikan diri manusia (al-khalq)”.
Contoh:
a. Perbuatan para sahabat memilih dan mengangkat
Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai
khalifah pertama pengganti
nabi untuk memimpin
umat dalam meneruskan tugas
imamah dan da’wah, menjaga, mengembangkan dan mempertahankan berlakunya syariat
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW Seorang
khalifah sangat dibutuhkan
pada saat itu,
dan ini merupakan
suatu maslahat yang sangat besar, namun hal ini tidak ditemukan dalil
khusus dari teks syariat yang membenarkan atau menyuruh atau membatalkannya
(melarang).
b. Sahabat Utsman bin Affan mengumpulkan
al-Quran kedalam beberapa mushaf. Padahal hal ini tak pernah dilakukan dimasa
Rasulullah SAW. Alasan yang mendorong mereka malakukan pengumpulan pengumpulan
itu tidak lain kecuali semata-mata maslahat, yaitu menjaga al-Quran dari
kepunahan atan kehilangan kemutawatirannya karena meninggalnya sejumlah besar
hafidz dari generasi sahabat.
Kitab
Rujukan Madzhab Maliki:
1. Al-Mudawanatul
Kubro karya Imam
Malik bin Anas Al- Asbahi
2. Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul
Muqtashid karya Ibnu Rusyd Al- Qurtuby
3. Mawahibul
Jalil Lisyarhi Mukhtashor Kholil Karya Muhammad bin Muhammad Al- Maghriby
4. As- Syarhul
Kabir “ala Mukhtashor Kholil Manhul Qodir karya Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Al- ‘Adawi.
5. Al- Muntaqo
syarhu A- Muwatho’ karya
Abul Walid Sulaiman bin Kholaf Al- Andalusi