Minggu, 06 Oktober 2019

Pengulangan Kisah Dalam Al-Qur'an



Kisah dalam Al-Qur’an merupakan bagian terbanyak dalam ayat, sehingga  mendapatkan  porsi  sepertiga  isi  Al-Qur’an[1]. Bahkan  banyak surat-surat  Makkiyyah yang  diberi  nama sesuai  kandungan kisah  yang  ada di dalamnya, seperti surat Yusuf, Nuh, al-Qashash dan sebagainya[2]. Dari keseluruhan ayat Al-Qur’an, terdapat 35 surat yang memuat kisah, dan kebanyakan adalah surat-surat panjang.[3]
Penggunaan kisah dalam Al-Qur’an bisa dikatakan salah satu manifestasi penggunaan logika dan gaya bahasa Arab. Seperti halnya umat-umat terdahulu, bangsa Arab pun mengembangkan tradisi keagamaannya melalui kisah, hikayat, dan mitos yang diwarisi turun temurun.[4]   Hal itu karena kisah merupakan salah satu bentuk seni sastra yang memiliki ikatan kuat dengan diri manusia. Ia sangat  disukai karena  menggambarkan berbagai  kejadian dan peristiwa dalam kehidupan riil ataupun imajinatif.[5]
Al-Qur’an kerap kali mendeskripsikan tentang peristiwa yang berkaitan tentang sebab-akibat, karena model pemaparan seperti itu sangat disukai bangsa Arab kala itu, apalagi bila peristiwa tersebut diselingi dengan pembelajaran akan berita masa lalu.[6]
Afif Abdul Fatah Thabbarah menyatakan bahwa kisah Al-Qur’an adalah kisah keagamaan.[7] Sebagai kisah keagamaan, maka tujuan utama  yang  ingin dicapai dari penyajiannya adalah agar pembaca atau pendengar terpengaruh lalu tergerak untuk menerima dan taat kepada kehendak Tuhan. Al-Qur’an menggunakan kisah-kisah itu untuk menjelaskan sebuah prinsip, mengajak kepada sebuah ide, menyeru kepada kebaikan dan kebenaran serta melarang kemungkaran.[8]
Sayid Quthb melihat kisah Al-Qur’an, baik dari segi tema, pengkisahan, penokohan, pengaluran, dan gaya bahasanya sebagai media dakwah yang dipergunakan  untuk  mempengaruhi  emosi  dan  pikiran  pembacanya  melalui keindahan seni bahasa.[9]
Sedangkan menurut para orientalis seperti Muir  misalnya,  mereka  beranggapan  bahwa  Kisah-kisah  Nabi terdahulu  yang diceritakan dalam Al-Qur’an pada faktanya merujuk pada situasi yang dihadapi Nabi.21 Surat Hud ayat 91 yang mengisahkan keberatan kaum Syuaib bila utusan Tuhan adalah orang yang berasal dari kelompok lemah misalnya, mencerminkan situasi  Mekah  kala  itu  ketika  banyak  pemuka  Quraisy  keberatan  menerima dakwah Muhammad karena ia sama sekali bukan orang yang diperhitungkan.[10]
Al-Qur’an juga sering menganalogikan kondisi penduduk Mekkah yang menolak gagasan reformasi  sosial berbasis  monoteismenya Muhammad  dengan kondisi umat  yang menentang para rasul terdahulu.[11]
Para orientalis nampaknya berpandangan bahwa kisah Al-Qur’an merupakan simbolisasi terhadap sepak-terjang dan suka-duka Muhammad dalam mendakwahkan ajarannya.
Ketundukan kisah Al-Qur’an pada tujuan-tujuan keagamaan berimplikasi pada tehnik penceritaan, gaya bahasa yang dipergunakan, dan materi kisah yang disampaikan. Di antara implikasi yang paling terlihat dari ketundukan itu adalah adanya  pengulangan satu  kisah  di tempat  yang  berbeda  baik  seluruhnya atau sebagian.[12]
Pengulangan merupakan ciri yang paling menonjol dalam kisah Al-Qur’an. Hanya sedikit kisah Al-Qur’an yang tidak berulang, seperti kisah Yusuf dan Ashabul Kahfi, selebihnya mengalami pengulangan di surat-surat yang berbeda. Apabila dicermati, mayoritas materi kisah dalam al-Qur’an adalah legenda atau kisah-kisah heroik yang telah diakrabi oleh pemikiran bangsa Arab. Kisah-kisah tersebut diwarisi secara turun temurun, dan  diceritakan berulang-ulang dalam asmâr-asmâr (obrolan-obrolan malam) mereka.[13]
Menurut Az-Zarkasy sebagaimana dikutip oleh Abdul Azhim Ibrahim Muhammad Al-Mu’thini, pengulangan kisah sejalan dengan tradisi bahasa orang-orang Arab, di mana mereka akan mengulangi sebuah ungkapan untuk menegaskan  dan munjukkan  pentingnya  gagasan yang terkandung dalam ungkapan tersebut.[14]
Meskipun kisah-kisah  Al-Qur’an sering  diulang dalam beberapa surat, akan tetapi pola penyampaiannya berbeda-beda. Secara umum memang ada pengulangan kisah, tetapi sejatinya ada perbedaan gaya bahasa, gagasan, atau episode yang diulang.[15]
Sedangkan menurut   sebagian   orientalis, pengulangan kisah dalam Al-Qur’an merupakan bukti bahwa Al-Qur’an tidak balîgh. Bahkan Kamil Najjar  beranggapan bahwa pengulangan-pengulangan tersebut hanya membuang-buang waktu dan semakin membuat pembaca bosan.[16]
Kamil Najjar mempertanyakan manfaat pengulangan kisah Nabi Musa lengkap dengan rincian detailnya dalam lebih dari tujuh surat, begitu pula kisah Nabi Ibrahim yang diulang dalam 25 surat.[17] Itulah mengapa pengulangan kisah Al-Quran sejak lama telah menjadi polemik antara kalangan orientalis dan cendikiawan muslim.
Banyaknya pengulangan kisah Al-Qur’an menjadi alasan lain tentang perlunya kajian kisah al-Qur’an.[18] Menurut Tahani, pembaca kisah al- Qur’an  seringkali  terjebak  pada  generalisasi  pemaknaan  terhadap  kisah-kisah yang berulang, akibatnya pelajaran dan hikmah penting yang ingin dicapai dengan pemaparan kisah tersebut dalam konteks surat tertentu menjadi tidak tersentuh sama sekali.[19]
Kelemahan beberapa kajian kisah Al-Qur’ân selama ini yang cenderung berfokus pada tokoh dan bukannya pada kesatuan kisah dengan surat di mana ia berada, membuat kebanyakan orang gagal menangkap peran dan tujuan kisah tersebut dalam  konteksnya  masing-masing.  Hal  ini  yang  mendorong  penulis  untuk mengkaji kisah Al-Qur’ân dalam kesatuannya dengan surat di mana ia berada.
Salah satu kisah yang dipaparkan secara berulang dalam al-Qur’an adalah kisah Nabi Musa. Membaca  kisah  Nabi  Musa  langsung  dari  Al-Quran memerlukan upaya lebih untuk memahaminya. Sebab, seperti kebanyakan kisah dalam Al-Quran, kisah Musa dalam Al-Quran terpencar-pencar, dengan gaya dan logika bahasa yang berbeda-beda dalam kemasan sastrawinya, diulang-ulang ditempat-tempat yang berbeda dengan kronologi yang acak, dan mengabaikan keterpaduan unsur kisah (termasuk nama tokoh, waktu, serta tempat).
Kisah  Nabi  Musa  dalam  al-Quran  sendiri  tersebar  dalam  30 surat  dan  termasuk  kisah  yang  paling  banyak  dimuat  dalam  Al-Quran. Ada beberapa surat yang lengkap menerangkan kisah sosok sentral dalam agama Yahudi ini. Selebihnya, hanya potongan- potongan kisah dalam satu dua ayat  saja. Surat-surat yang cukup representatif menggambarkan kisah Nabi Musa adalah Q.S al-A'rāf, al-Kahfi, Thāha, as-Syu'arâ’, dan al-Qashash.  Sedangkan  surat-surat yang repetitif, segmentatif (sepotong-sepotong), dan global mengisahkan Nabi Musa adalah Q.S  al-Baqarah, Āli Imran, al-Māidah, Yūnus, Ibrahim, al-Isra, al-Hajj, al-Mukminūn, al-Furqān, al-Naml, al- Ankabūt, al-Mukmin, al-Dukhkhan, al-Shaff, dan al-Nāziat.[20]
Masa kecil Nabi Musa
Menjelang dewasa; petaka pembunuhan dan pelarian ke Madyan
Musa menikah
Musa ke Bukit Sinai pertama
Membebaskan Bani Israil dan menghadapi Fir’aun
Eksodus dari Mesir
Eksodus yang sarat polemik
Musa ke Bukir Sinai kedua
Kisah Qarun
Berguru kepada Khidhir


Kenapa Nabi Musa
1.      Ujian yang dialami Musa adalah ujian menjalani hidup di tengah masyarakat. Bukan ujian kemiskinan, ujian sakit, atau musibah bencana alam, dimana ujian ini, sangat mirip dengan apa yang akan dialami Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin yang menjadi umatnya.
2.      Orang-orang Yahudi dan Nasrani sudah terlebih dahulu mengetahuinya karena Nabi Musa adalah ikon bani Israil

Caranya
Pertama, mengumpulkan seluruh ayat tentang Nabi Musa; kedua, merekonstruksi ayat-ayat terkumpul dalam satu alur kisah dan membabakkannya; ketiga, menerjemahkan   ayat-ayat tersebut dalam suatu deskripsi-narasi yang bertutur untuk mendapatkan ilustrasi yang hidup.


[1] Amru Khalid, Qirâ’ah Jadîdah wa Ru’yah fî Qishash al-Anbiyâ’,(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2007), h. 12
[2] Muhammad Quthb, Dirâsât Qur’âniyah, ( Kairo: Dâr al-Syuruq, 1993), h. 101
[3] A. Hanafi, Segi-Segi Kesusastraan pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1984), h. 143
[4] Ahmad Amin, Fajr al-Islâm (Beirut: Dar Al Fikr, 1975), pada bab al-Quran
[5] Abd  al-Aziz  Muh.  Faishal,  al-Adab  al-Araby  wa  Târîkhuh,  (Arab Saudi:  Departemen Pendidikan Tinggi ,1114 H), h. 28
[6] Muhammad Abd al-Rahim, Mu’jizât ‘Ajâ’ib min al-Qur’ân al-Karîm, (Beirut: Dar al- Fikr,1995), h.159
[7] Afif Abdul Fatah Thabarah, Rûh al-Dîn al-Islâmy, (Beirut: Daar al-Ilm li al-Malayîn, 1999), h. 47
[8] Bakri Syaikh Amin, al-Ta’bîr al-Fanny fî al-Qur’ân al-Karîm, (Beirut: Dar al-Ilm li al- Malayîn, 1993), hh.226-227
[9] Sayid Qutb, al-Tashwîr al-Fanny fî al-Qur’an (Kairo: Dar al-Syuruq, 1972), h. 143
[10] Sir Wiliam Muir, The Coran, (New York: E.&J.B. Young &co, 2006), h.h.6-7
[11] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Yogjakarta:FkBA,2001), h.25
[12] Sayid Qutb, Al-Tashwîr al-Fanny fî al-Qur’an, h.h.155-169
[13] Muhammad Ahmad Khalafullah, al-Fann al-Qashashi fî  al-Qur’ân terj. Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 101. Muhammad Ahmad Khalafullah adalah nama kontroversial saat menyatakan dalam disertasi doktoralnya bahwa Al-Quran tidak dapat dijadikan sebagai referensi sejarah par excellent. Mayoritas ulama puritan menolak pandangan tersebut. Dengan pernyataannya tersebut, mereka menilai bahwa Khalafullah telah menganggap kisah- kisah dalam al-Quran adalah tidak historis atau khoyyâl (ilusi-imajinatif) atau paling tidak bercampur dengan imajinasi kesusastraan. Hal itu bertolak belakang dengan keyakinan  umat  Islam  tentang  validitas  dan  akurasi  al-Quran  yang  tak  dapat ditawar-tawar karena merupakan sesuatu yang berasal dari Yang Haqq; Yang Mahabenar. Manna' Khalil al-Qatthan, ulama Saudi Arabia yang kitab studi al- Qurannya menjadi salah satu rujukan pokok di berbagai perguruan tinggi Indonesi, termasuk yang menyayangkan pandangan Muhammad Ahmad Khalafullah. Lihat Mannâ' Al-Qatthân, Mabâhits fi Ulûm al-Quran, (Riyâdh: Mansyûrât al-`Âshr al- Hadîts, 1973), 308
[14] Abdul Azhim Ibrahim Muhammad Al-Mu’thini, Khashâ’ish al-Ta’bîr al-Qur’âny wa Simâtuhu al-Balâghiyah juz 1, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1992), h. 334
[15] Abdul Azhim Ibrahim Muhammad Al-Mu’thini, Khashâ’ish al-Ta’bîr al-Qur’âny wa Simâtuhu al-Balâghiyah juz 1, h. 334
[16] Kamil al Najjâr, Qirâ’ah Manhajiyyah li al-Islâm, (Tripoli: Tâlah, 2005), hh. 123-124
[17] Kamil al Najjâr, Qirâ’ah Manhajiyyah li al-Islâm, hh. 123-124
[18] Tahani binti Salim bin Ahmad Bahuraits, Âtsâr Dilâlah al-Siyâq al-Qur’âny fî Taujîh Ma’na al-Mutasyâbih al-Lafzhy fî  al-Qashash al-Qur’âny, Risâlah al-Majistîr, (Mekkah: Jami’ah Ummul Quro, 2007). h. 3
[19] Tahani binti Salim bin Ahmad Bahuraits, Âtsâr Dilâlah al-Siyâq al-Qur’âny fî Taujîh Ma’na al-Mutasyâbih al-Lafzhy fî  al-Qashash al-Qur’âny, h. 3
[20] Syukron Affani, “Rekonstruksi Kisah Nabi Musa dalam Al-Qur’an: Studi Perbandingan dengan Perjanjian Lama”. Jurnal al-Ihkam. Vol. 12. No. 1 Juni 2017, h. 175