Kisah dalam Al-Qur’an
merupakan bagian terbanyak dalam ayat, sehingga
mendapatkan porsi sepertiga
isi Al-Qur’an[1]. Bahkan banyak surat-surat Makkiyyah yang diberi
nama sesuai kandungan kisah yang
ada di dalamnya, seperti surat Yusuf, Nuh, al-Qashash dan sebagainya[2]. Dari keseluruhan ayat Al-Qur’an,
terdapat 35 surat yang memuat kisah, dan kebanyakan adalah surat-surat panjang.[3]
Penggunaan kisah dalam Al-Qur’an bisa dikatakan salah satu manifestasi penggunaan logika dan gaya bahasa Arab. Seperti
halnya umat-umat terdahulu, bangsa Arab pun mengembangkan tradisi keagamaannya
melalui kisah, hikayat, dan mitos yang diwarisi turun temurun.[4] Hal itu karena kisah merupakan salah satu
bentuk seni sastra yang memiliki ikatan kuat dengan diri manusia. Ia
sangat disukai karena menggambarkan berbagai kejadian dan peristiwa dalam kehidupan riil
ataupun imajinatif.[5]
Al-Qur’an kerap kali
mendeskripsikan tentang peristiwa yang berkaitan tentang sebab-akibat, karena
model pemaparan seperti itu sangat disukai bangsa Arab kala itu, apalagi bila
peristiwa tersebut diselingi dengan pembelajaran akan berita masa lalu.[6]
Afif Abdul Fatah
Thabbarah menyatakan bahwa kisah Al-Qur’an adalah kisah keagamaan.[7] Sebagai kisah keagamaan,
maka tujuan utama yang ingin dicapai dari penyajiannya adalah agar
pembaca atau pendengar terpengaruh lalu tergerak untuk menerima dan taat kepada
kehendak Tuhan. Al-Qur’an menggunakan kisah-kisah itu untuk menjelaskan sebuah
prinsip, mengajak kepada sebuah ide, menyeru kepada kebaikan dan kebenaran
serta melarang kemungkaran.[8]
Sayid Quthb melihat
kisah Al-Qur’an, baik dari segi tema, pengkisahan, penokohan, pengaluran, dan
gaya bahasanya sebagai media dakwah yang dipergunakan untuk
mempengaruhi emosi dan
pikiran pembacanya melalui keindahan seni bahasa.[9]
Sedangkan menurut para
orientalis seperti Muir misalnya, mereka
beranggapan bahwa Kisah-kisah
Nabi terdahulu yang diceritakan
dalam Al-Qur’an pada faktanya merujuk pada situasi yang dihadapi Nabi.21 Surat
Hud ayat 91 yang mengisahkan keberatan kaum Syuaib bila utusan Tuhan adalah
orang yang berasal dari kelompok lemah misalnya, mencerminkan situasi Mekah
kala itu ketika
banyak pemuka Quraisy
keberatan menerima dakwah
Muhammad karena ia sama sekali bukan orang yang diperhitungkan.[10]
Al-Qur’an juga sering menganalogikan
kondisi penduduk Mekkah yang menolak
gagasan reformasi sosial berbasis monoteismenya Muhammad dengan kondisi umat
yang menentang para rasul terdahulu.[11]
Para orientalis nampaknya berpandangan bahwa kisah Al-Qur’an
merupakan simbolisasi terhadap sepak-terjang dan suka-duka Muhammad dalam mendakwahkan
ajarannya.
Ketundukan kisah Al-Qur’an pada tujuan-tujuan
keagamaan berimplikasi pada tehnik penceritaan, gaya bahasa yang dipergunakan,
dan materi kisah yang disampaikan. Di
antara implikasi yang paling terlihat dari ketundukan itu adalah adanya pengulangan satu kisah
di tempat yang berbeda
baik seluruhnya atau sebagian.[12]
Pengulangan merupakan ciri yang paling
menonjol dalam kisah Al-Qur’an. Hanya sedikit kisah Al-Qur’an yang tidak
berulang, seperti kisah Yusuf dan Ashabul Kahfi, selebihnya mengalami
pengulangan di surat-surat yang berbeda. Apabila dicermati,
mayoritas materi kisah dalam al-Qur’an adalah legenda atau kisah-kisah heroik
yang telah diakrabi oleh pemikiran bangsa Arab. Kisah-kisah tersebut diwarisi
secara turun temurun, dan diceritakan berulang-ulang
dalam asmâr-asmâr (obrolan-obrolan malam) mereka.[13]
Menurut Az-Zarkasy sebagaimana dikutip oleh
Abdul Azhim Ibrahim Muhammad Al-Mu’thini, pengulangan kisah sejalan dengan
tradisi bahasa orang-orang Arab, di mana mereka akan mengulangi sebuah ungkapan
untuk menegaskan dan munjukkan pentingnya
gagasan yang terkandung dalam ungkapan tersebut.[14]
Meskipun kisah-kisah Al-Qur’an sering diulang dalam beberapa
surat, akan tetapi pola penyampaiannya berbeda-beda. Secara umum memang ada
pengulangan kisah, tetapi sejatinya ada
perbedaan gaya bahasa, gagasan, atau episode yang diulang.[15]
Sedangkan menurut sebagian
orientalis, pengulangan kisah dalam Al-Qur’an merupakan bukti bahwa Al-Qur’an
tidak balîgh. Bahkan Kamil Najjar
beranggapan bahwa pengulangan-pengulangan tersebut hanya membuang-buang
waktu dan semakin membuat pembaca bosan.[16]
Kamil Najjar mempertanyakan manfaat pengulangan
kisah Nabi Musa lengkap dengan
rincian detailnya dalam lebih dari tujuh surat,
begitu pula kisah
Nabi Ibrahim yang diulang dalam 25 surat.[17] Itulah
mengapa pengulangan kisah Al-Qur’an sejak lama telah menjadi polemik antara kalangan orientalis dan
cendikiawan muslim.
Banyaknya pengulangan
kisah Al-Qur’an menjadi alasan lain tentang perlunya kajian kisah al-Qur’an.[18] Menurut Tahani, pembaca kisah al- Qur’an seringkali terjebak pada generalisasi
pemaknaan terhadap kisah-kisah yang berulang, akibatnya pelajaran dan hikmah penting yang ingin dicapai dengan pemaparan kisah tersebut dalam
konteks surat tertentu menjadi tidak tersentuh sama sekali.[19]
Kelemahan beberapa
kajian kisah Al-Qur’ân selama ini yang cenderung berfokus pada tokoh dan
bukannya pada kesatuan kisah dengan surat di mana ia berada, membuat kebanyakan
orang gagal menangkap peran dan tujuan kisah tersebut dalam konteksnya
masing-masing. Hal ini
yang mendorong penulis
untuk mengkaji kisah Al-Qur’ân dalam kesatuannya dengan surat di mana ia
berada.
Salah satu kisah yang
dipaparkan secara berulang dalam al-Qur’an adalah kisah Nabi Musa. Membaca kisah
Nabi Musa langsung
dari Al-Quran memerlukan upaya
lebih untuk memahaminya. Sebab, seperti kebanyakan kisah dalam Al-Quran, kisah
Musa dalam Al-Quran terpencar-pencar, dengan gaya dan logika bahasa yang
berbeda-beda dalam kemasan sastrawinya, diulang-ulang ditempat-tempat yang
berbeda dengan kronologi yang acak, dan mengabaikan keterpaduan unsur kisah
(termasuk nama tokoh, waktu, serta tempat).
Kisah Nabi
Musa dalam al-Quran
sendiri tersebar dalam
30 surat dan termasuk
kisah yang paling
banyak dimuat dalam Al-Quran.
Ada beberapa surat yang lengkap menerangkan kisah sosok sentral dalam agama
Yahudi ini. Selebihnya, hanya potongan- potongan kisah dalam satu dua ayat saja. Surat-surat yang cukup representatif
menggambarkan kisah Nabi Musa adalah Q.S al-A'rāf, al-Kahfi, Thāha, as-Syu'arâ’,
dan al-Qashash. Sedangkan surat-surat yang repetitif, segmentatif
(sepotong-sepotong), dan global mengisahkan Nabi Musa adalah Q.S al-Baqarah, Āli Imran, al-Māidah, Yūnus,
Ibrahim, al-Isra, al-Hajj, al-Mukminūn, al-Furqān, al-Naml, al- Ankabūt,
al-Mukmin, al-Dukhkhan, al-Shaff, dan al-Nāziat.[20]
Masa kecil Nabi Musa
Menjelang dewasa;
petaka pembunuhan dan pelarian ke Madyan
Musa menikah
Musa ke Bukit Sinai
pertama
Membebaskan Bani
Israil dan menghadapi Fir’aun
Eksodus dari Mesir
Eksodus yang sarat
polemik
Musa ke Bukir Sinai
kedua
Kisah Qarun
Berguru kepada Khidhir
Kenapa Nabi Musa
1.
Ujian
yang dialami Musa adalah ujian menjalani hidup di tengah masyarakat. Bukan
ujian kemiskinan, ujian sakit, atau musibah bencana alam, dimana ujian ini,
sangat mirip dengan apa yang akan dialami Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan kaum muslimin yang menjadi umatnya.
2.
Orang-orang
Yahudi dan Nasrani sudah terlebih dahulu mengetahuinya karena Nabi Musa adalah
ikon bani Israil
Caranya
Pertama, mengumpulkan seluruh ayat tentang Nabi Musa;
kedua, merekonstruksi ayat-ayat terkumpul dalam satu alur kisah dan membabakkannya;
ketiga, menerjemahkan ayat-ayat
tersebut dalam suatu deskripsi-narasi yang bertutur untuk mendapatkan ilustrasi
yang hidup.
[1] Amru Khalid, Qirâ’ah Jadîdah wa Ru’yah fî Qishash al-Anbiyâ’,(Beirut:
Dar al-Ma’rifah, 2007), h. 12
[2] Muhammad Quthb, Dirâsât Qur’âniyah, ( Kairo: Dâr al-Syuruq,
1993), h. 101
[3] A. Hanafi, Segi-Segi Kesusastraan pada Kisah-Kisah Al-Qur’an,
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1984), h. 143
[4] Ahmad Amin, Fajr al-Islâm (Beirut: Dar Al Fikr,
1975), pada bab
al-Qur’an
[5] Abd al-Aziz Muh.
Faishal, al-Adab al-Araby
wa Târîkhuh, (Arab
Saudi: Departemen Pendidikan Tinggi
,1114 H), h. 28
[6] Muhammad Abd al-Rahim, Mu’jizât ‘Ajâ’ib min al-Qur’ân al-Karîm,
(Beirut: Dar al- Fikr,1995), h.159
[7] Afif Abdul Fatah Thabarah, Rûh al-Dîn al-Islâmy, (Beirut: Daar
al-Ilm li al-Malayîn, 1999), h. 47
[8] Bakri Syaikh Amin, al-Ta’bîr al-Fanny fî al-Qur’ân al-Karîm,
(Beirut: Dar al-Ilm li al- Malayîn, 1993), hh.226-227
[10] Sir Wiliam Muir, The Coran, (New York: E.&J.B. Young
&co, 2006), h.h.6-7
[11] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an,
(Yogjakarta:FkBA,2001), h.25
[12] Sayid Qutb, Al-Tashwîr al-Fanny fî al-Qur’an, h.h.155-169
[13] Muhammad Ahmad Khalafullah, al-Fann al-Qashashi fî al-Qur’ân terj. Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an
Bukan Kitab Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 101. Muhammad Ahmad Khalafullah adalah nama
kontroversial saat menyatakan dalam disertasi doktoralnya bahwa Al-Quran tidak
dapat dijadikan sebagai referensi sejarah par excellent. Mayoritas ulama
puritan menolak pandangan tersebut. Dengan pernyataannya tersebut, mereka
menilai bahwa Khalafullah telah menganggap kisah- kisah dalam al-Quran adalah
tidak historis atau khoyyâl (ilusi-imajinatif) atau paling tidak bercampur
dengan imajinasi kesusastraan. Hal itu bertolak belakang dengan keyakinan umat
Islam tentang validitas
dan akurasi al-Quran
yang tak dapat ditawar-tawar karena merupakan sesuatu
yang berasal dari Yang Haqq; Yang Mahabenar. Manna' Khalil al-Qatthan, ulama
Saudi Arabia yang kitab studi al- Qurannya menjadi salah satu rujukan pokok di
berbagai perguruan tinggi Indonesi, termasuk yang menyayangkan pandangan
Muhammad Ahmad Khalafullah. Lihat Mannâ' Al-Qatthân, Mabâhits fi Ulûm
al-Quran, (Riyâdh: Mansyûrât al-`Âshr al- Hadîts, 1973), 308
[14] Abdul Azhim Ibrahim Muhammad Al-Mu’thini, Khashâ’ish al-Ta’bîr
al-Qur’âny wa Simâtuhu al-Balâghiyah juz 1, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1992),
h. 334
[15] Abdul Azhim Ibrahim Muhammad Al-Mu’thini, Khashâ’ish al-Ta’bîr
al-Qur’âny wa Simâtuhu al-Balâghiyah juz 1, h. 334
[16] Kamil al Najjâr, Qirâ’ah Manhajiyyah li al-Islâm, (Tripoli: Tâlah, 2005),
hh. 123-124
[17] Kamil al Najjâr, Qirâ’ah Manhajiyyah li al-Islâm, hh. 123-124
[18] Tahani binti Salim bin Ahmad Bahuraits, Âtsâr Dilâlah al-Siyâq
al-Qur’âny fî Taujîh
Ma’na al-Mutasyâbih al-Lafzhy fî al-Qashash al-Qur’âny, Risâlah al-Majistîr, (Mekkah: Jami’ah Ummul Quro, 2007). h. 3
[19] Tahani binti Salim bin Ahmad Bahuraits, Âtsâr Dilâlah al-Siyâq
al-Qur’âny fî Taujîh Ma’na al-Mutasyâbih al-Lafzhy fî al-Qashash al-Qur’âny, h. 3
[20] Syukron Affani, “Rekonstruksi
Kisah Nabi Musa dalam Al-Qur’an: Studi Perbandingan dengan Perjanjian Lama”. Jurnal
al-Ihkam. Vol. 12. No. 1 Juni 2017, h. 175
Tidak ada komentar:
Posting Komentar