Minggu, 27 Juni 2021

Memperpanjang SIM Online


Memang sejak menikah sudah jarang sekali keluar sendiri naik motor, apalagi dimasa pandemi juga jarang keluar rumah. Melihat SIM C yang hampir habis masa berlakunya, sayang  kalau sampai habis masa berlakunya tanpa diperpanjang; karena dulu buatnya aja susah hehe… mungkin aja nanti SIM nya berguna kalau nganterin anak sekolah hehe, tapi kalau mau mengurus perpanjangan males juga harus keluar rumah.

 Ternyata mengurus SIM bisa via online tanpa keluar rumah, pertama download App “Digital Korlantas”. Setelah dibuka ada pilihan SIM, STNK dll, tapi layanan yang belaku baru SIM Nasional aja. Klik kotak SIM nanti disana ada pilihan kita mau ngapain, pilih perpanjangan SIM, karena pilihan yang lain belom tersedia juga hahaha…

Saat kita klik perpanjangan SIM nanti tercantum Syarat apa saja yang harus dilengkapi untuk memperpanjang SIM. Diantaranya :

1.       Foto E-KTP

2.       Foto SIM lama

3.       Foto Tanda tangan diatas kertas putih

4.       Pas foto ( Syarat Pas fotonya latar belakang biru, jadi kalau pakai jilbab gak boleh pakai jilbab biru, tidak menggunakan kacamata, tidak menggunakan penutup kepala kayak peci atau topi, foto menghadap kedepan, dan resolusinya 480x460 pixel) ni aku foto semua modal hp doang hahaha mendadak pula.

Terus nanti kita diarahkan untuk download aplikasi yang digunakan untuk tes kesehatan dan tes psikologi.

 Aplikasi ePPsi ni untuk tes Psikologi kita, kalau sudah terdownload isi data yang diminta lalu klik “Tes Psikologi SIM”. Untuk tes psikologi ini kita harus punya voucher, dan untuk mendapatkan voucher kita cukup mengikuti petunjuk, mengisi data dan transfer via bank BNI sebesar Rp. 27.500,- . kalau dah transfer kita baru bisa ikut tes Psikologi ini. Tesnya lumayan rumit dan butuh kejelian dan konsentrasi. Ada 2 jenis tes, yang pertama ada 100 pernyataan kayaknya kalau gak salah ingat hehehe nanti kita tinggal klik amat setuju, setuju, tidak setuju, amat tidak setuju. Ada peyutujuk mengerjakannya kok, nanti dibaca aja.

Yang kedua adalah mengisi angka-angka, ada 10 kolom, tiap kolom ada 40 baris, ini yang lumayan bikin sakit mata hahahaha… (sebelum mengerjakan baca petunjuk mengerjakannya dulu ya)

Kalau dah selesai langsung deh keluar hasilnya, lulus dan memenuhi syarat untuk mengajukan perpanjangan SIM atau tidak.

Lalu kita download e-Rikkes yaitu aplikasi untuk tes kesehatan, kalau ini gratis alias gak berbayar. Buka aplikasi, klik daftar lalu isi data yang diminta (kalau di aplikasi ini suruh foto dan memasukkan NIK). Lalu isi data kapan dan dimana mau periksa kesehatan, waktunya ditulis tanggal sekarang ini. Nanti akan diarahkan ke tes kesehatan via online, tinggal jawab pertanyaan iya tidak hahaha.

 Kalau dah beres semua kembali ke aplikasi Digital Korlantas, klik perpanjangan SIM, kalau semua syarat sudah terpenuhi klik “Lanjutkan”, masukkan data yang diminta dan upload dokumen yang diminta. Setelah itu akan diminta alamat untuk mengirim SIM yang sudah jadi, ada rincian biaya dan metode pembayarannya. Kalau aku dikirim ke Bekasi dari Polda Metro Jaya (karena KTP ku DKI) biaya kirim via pos  Rp. 24.400,- jadi total semuanya Rp. 109,400,-. Lumayan murah untuk ukuran perpanjang SIM, karena kita gak perlu biaya transpor dan konsumsi, gak perlu antri cukup dirumah saja didepan Hp sambil baring-baring pun bisa.

Kalau sudah transfer kita tinggal cek di transaksi sampai mana transaksi kita. nanti akan ada notifikasi SIM kita prosesnya sampai mana. Sudah selesai tinggal tunggu paket sampai depan rumah kita.  kalau ada pertanyaan atau belom paham bisa komentar atau via email ya.

aku ngurus perpanjangan SIM tanggal 22 Mei 2021, tanggal 28 Mei 2021 dah sampai SIM nya dengan aman :) 

 

Sabtu, 05 September 2020

Penyetaraan Ijazah Luar negri/LIPIA di Kemenag

😃

Bagi temen-temen yang berijazah sarjana atau magister luar negri/LIPIA dan ingin melanjutkan studi di dalam negri atau ingin daftar pekerjaan yang mengharuskan ijazahnya disetarakan misalnya mau daftar PNS, maka disini aku mau jelasin cara penyetaraan ijazah di kemenag.


Bulan februari aku memasukkan berkas via web, jadi aku buka www.kemenag.go.id, trus aku klik penyetaraan ijazah, klik formulir pengajuan online, trus isi data yang diminta. Untuk LIPIA, tulis aja LIPIA atau Jami’ah Imam Muhammad bin Su’ud atau Al-Imam Muhammad Ibn Saud Islamic University. Fakultas Syariah, jurusan Perbandingan Mazhab. Untuk judul skripsi tulis aja Judul Bahts pas semester 8 dan nomor ijazah LIPIA ada di pojok kanan bawah.


Kalo sudah bisa log in kita diminta untuk mengisi data online, ingat ya… file dalam bentuk jpg atau pdf dan ukurannya gak boleh lebih dari 1 MB. Yang perlu diunggah adalah ijazah asli, foto 3x4, ijazah LIPIA yang sudah diterjemahkan oleh penerjemah tersumpah dan ada legalisir dari LIPIA, Trankip nilai asli, transkip nilai terjemahan oleh penerjemah tersumpah dan dah dilegalisir oleh pihak kampus. Kemudian diminta resume atau ringkasan skripsi, karena kita tahu bahwa di LIPIA gak ada skripsi maka aku tulis ringkasan bahts mustawa 8  sehalaman doang dalam Bahasa Indonesia , namanya juga resume gak usah panjang-panjang. Jadi semua file tadi aku scan dulu atau aku jadikan PDF.

Kalo semua file udah beres ke upload, tinggal deh nunggu di proses, tapi via online ni gak diproses-proses sampai bulan Juli, padahal aku butuh banget, hingga aku akhirnya hubungi PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) kemenag. Eng ing eng… ternyata tetep harus ke kemenag langsung sambal bawa berkas yang diminta ( ya Allah, tau gitu aku gak ngrasa di php online, dan yang di online gak berfaidah sama sekali).

Akhirnya pada tanggal 7 Juli aku ke kantor Kemenag Pusat yang deket Lapangan Banteng tu lo, Tanya satpam kantor PTPS dimana, nanti satpamnya nunjukin. Saat masuk ngisi buku tamu dan nulis keperluannya apa, waktu itu aku datang pagi, jadi masih sepi gak ngantri ( apa emang lagi covid 19 ya?) dipanggil ma petugasnya sambil nyerahin berkas, berkasnya sama kayak yang online ya pas fotonya  2 lembar… plus fc KTP dan legalisir ijazah SMA/ sederajat aja. Petugasnya kayaknya dah tau kalo di LIPIA gak ada skripsi, jadi ku gak bawa resume skripsi. Nunggu bentar habis itu dikasih surattanda terima berkas, di surat keterangannya tertulis SK penyetaraan ijazahnya bisa diambil 10 hari kerja, tapi kata petugasnya 5 hari kerja suruh telp atau WA saja untuk menanyakan apakah sudah jadi belom.

Seminggu kemudian aku WA tapi yang balas selalu robot, akhirnya aku telpon dan belom jadi, minggu depannya aku telpon lagi dan belom jadi, hingga aku telpon lagi ternyata pegawainya sedang WFH (Imbas covid 19) padahal aku butuh banget untuk syarat siding tesis, akhirnya aku pasrah, dan aku baru kesana buat ngambil satu setengah bulan kemudian.

Belom selesai sampai sini, ternyata SK penyetaraan ijazahnya harus di copy dan di legalisir digedung yang berbeda, yaitu gedung DIKTIS ( gedungnya tepat didepan Gedung PTSP). Pas ke Gedung Diktis ternyata semua pegawainya sedang cuti (  waktu itu gi hari kejepit antara hari kemerdekaan dan tahun baru hijriah). Sebel banget aku jauh-jauh dari Bekasi ke Jakpus dan harus balik lagi nanti untuk legalisir.


Dua minggu kemudian aku baru balik lagi untuk legalisir, jadi SK Penyetaraan ijazahnya aku laminating dan aku copy 10x, niatnya biar sekalian gitu. Di gedung Diktis kita harus lapor ke resepsionis, mengisi buku tamu, cek suhu tubuh ( perasaan pas di PTSP gak diukur sama sekali), dan ninggal KTP. Lalu kita naik ke lantai 7 untuk bertemu Pak Ruri (kalo gak salah dengar namanya Ruri atau Ruli). Pas sampai lantai 7 tanya satpam mau legalisir ijazah luar negri, nanti ditunjukkan ruangannya ( belok kanan lurus mentok kiri). Diruangan situ nyari aja Pak Ruri, nanti nunggu dilegalisir (lumayan lama), kalo sudah kita dipanggil dan suruh TTD, BERES… ternyata maksimal legalisir 5 doang hehehe….

 

 

 

Minggu, 06 Oktober 2019

Pengulangan Kisah Dalam Al-Qur'an



Kisah dalam Al-Qur’an merupakan bagian terbanyak dalam ayat, sehingga  mendapatkan  porsi  sepertiga  isi  Al-Qur’an[1]. Bahkan  banyak surat-surat  Makkiyyah yang  diberi  nama sesuai  kandungan kisah  yang  ada di dalamnya, seperti surat Yusuf, Nuh, al-Qashash dan sebagainya[2]. Dari keseluruhan ayat Al-Qur’an, terdapat 35 surat yang memuat kisah, dan kebanyakan adalah surat-surat panjang.[3]
Penggunaan kisah dalam Al-Qur’an bisa dikatakan salah satu manifestasi penggunaan logika dan gaya bahasa Arab. Seperti halnya umat-umat terdahulu, bangsa Arab pun mengembangkan tradisi keagamaannya melalui kisah, hikayat, dan mitos yang diwarisi turun temurun.[4]   Hal itu karena kisah merupakan salah satu bentuk seni sastra yang memiliki ikatan kuat dengan diri manusia. Ia sangat  disukai karena  menggambarkan berbagai  kejadian dan peristiwa dalam kehidupan riil ataupun imajinatif.[5]
Al-Qur’an kerap kali mendeskripsikan tentang peristiwa yang berkaitan tentang sebab-akibat, karena model pemaparan seperti itu sangat disukai bangsa Arab kala itu, apalagi bila peristiwa tersebut diselingi dengan pembelajaran akan berita masa lalu.[6]
Afif Abdul Fatah Thabbarah menyatakan bahwa kisah Al-Qur’an adalah kisah keagamaan.[7] Sebagai kisah keagamaan, maka tujuan utama  yang  ingin dicapai dari penyajiannya adalah agar pembaca atau pendengar terpengaruh lalu tergerak untuk menerima dan taat kepada kehendak Tuhan. Al-Qur’an menggunakan kisah-kisah itu untuk menjelaskan sebuah prinsip, mengajak kepada sebuah ide, menyeru kepada kebaikan dan kebenaran serta melarang kemungkaran.[8]
Sayid Quthb melihat kisah Al-Qur’an, baik dari segi tema, pengkisahan, penokohan, pengaluran, dan gaya bahasanya sebagai media dakwah yang dipergunakan  untuk  mempengaruhi  emosi  dan  pikiran  pembacanya  melalui keindahan seni bahasa.[9]
Sedangkan menurut para orientalis seperti Muir  misalnya,  mereka  beranggapan  bahwa  Kisah-kisah  Nabi terdahulu  yang diceritakan dalam Al-Qur’an pada faktanya merujuk pada situasi yang dihadapi Nabi.21 Surat Hud ayat 91 yang mengisahkan keberatan kaum Syuaib bila utusan Tuhan adalah orang yang berasal dari kelompok lemah misalnya, mencerminkan situasi  Mekah  kala  itu  ketika  banyak  pemuka  Quraisy  keberatan  menerima dakwah Muhammad karena ia sama sekali bukan orang yang diperhitungkan.[10]
Al-Qur’an juga sering menganalogikan kondisi penduduk Mekkah yang menolak gagasan reformasi  sosial berbasis  monoteismenya Muhammad  dengan kondisi umat  yang menentang para rasul terdahulu.[11]
Para orientalis nampaknya berpandangan bahwa kisah Al-Qur’an merupakan simbolisasi terhadap sepak-terjang dan suka-duka Muhammad dalam mendakwahkan ajarannya.
Ketundukan kisah Al-Qur’an pada tujuan-tujuan keagamaan berimplikasi pada tehnik penceritaan, gaya bahasa yang dipergunakan, dan materi kisah yang disampaikan. Di antara implikasi yang paling terlihat dari ketundukan itu adalah adanya  pengulangan satu  kisah  di tempat  yang  berbeda  baik  seluruhnya atau sebagian.[12]
Pengulangan merupakan ciri yang paling menonjol dalam kisah Al-Qur’an. Hanya sedikit kisah Al-Qur’an yang tidak berulang, seperti kisah Yusuf dan Ashabul Kahfi, selebihnya mengalami pengulangan di surat-surat yang berbeda. Apabila dicermati, mayoritas materi kisah dalam al-Qur’an adalah legenda atau kisah-kisah heroik yang telah diakrabi oleh pemikiran bangsa Arab. Kisah-kisah tersebut diwarisi secara turun temurun, dan  diceritakan berulang-ulang dalam asmâr-asmâr (obrolan-obrolan malam) mereka.[13]
Menurut Az-Zarkasy sebagaimana dikutip oleh Abdul Azhim Ibrahim Muhammad Al-Mu’thini, pengulangan kisah sejalan dengan tradisi bahasa orang-orang Arab, di mana mereka akan mengulangi sebuah ungkapan untuk menegaskan  dan munjukkan  pentingnya  gagasan yang terkandung dalam ungkapan tersebut.[14]
Meskipun kisah-kisah  Al-Qur’an sering  diulang dalam beberapa surat, akan tetapi pola penyampaiannya berbeda-beda. Secara umum memang ada pengulangan kisah, tetapi sejatinya ada perbedaan gaya bahasa, gagasan, atau episode yang diulang.[15]
Sedangkan menurut   sebagian   orientalis, pengulangan kisah dalam Al-Qur’an merupakan bukti bahwa Al-Qur’an tidak balîgh. Bahkan Kamil Najjar  beranggapan bahwa pengulangan-pengulangan tersebut hanya membuang-buang waktu dan semakin membuat pembaca bosan.[16]
Kamil Najjar mempertanyakan manfaat pengulangan kisah Nabi Musa lengkap dengan rincian detailnya dalam lebih dari tujuh surat, begitu pula kisah Nabi Ibrahim yang diulang dalam 25 surat.[17] Itulah mengapa pengulangan kisah Al-Quran sejak lama telah menjadi polemik antara kalangan orientalis dan cendikiawan muslim.
Banyaknya pengulangan kisah Al-Qur’an menjadi alasan lain tentang perlunya kajian kisah al-Qur’an.[18] Menurut Tahani, pembaca kisah al- Qur’an  seringkali  terjebak  pada  generalisasi  pemaknaan  terhadap  kisah-kisah yang berulang, akibatnya pelajaran dan hikmah penting yang ingin dicapai dengan pemaparan kisah tersebut dalam konteks surat tertentu menjadi tidak tersentuh sama sekali.[19]
Kelemahan beberapa kajian kisah Al-Qur’ân selama ini yang cenderung berfokus pada tokoh dan bukannya pada kesatuan kisah dengan surat di mana ia berada, membuat kebanyakan orang gagal menangkap peran dan tujuan kisah tersebut dalam  konteksnya  masing-masing.  Hal  ini  yang  mendorong  penulis  untuk mengkaji kisah Al-Qur’ân dalam kesatuannya dengan surat di mana ia berada.
Salah satu kisah yang dipaparkan secara berulang dalam al-Qur’an adalah kisah Nabi Musa. Membaca  kisah  Nabi  Musa  langsung  dari  Al-Quran memerlukan upaya lebih untuk memahaminya. Sebab, seperti kebanyakan kisah dalam Al-Quran, kisah Musa dalam Al-Quran terpencar-pencar, dengan gaya dan logika bahasa yang berbeda-beda dalam kemasan sastrawinya, diulang-ulang ditempat-tempat yang berbeda dengan kronologi yang acak, dan mengabaikan keterpaduan unsur kisah (termasuk nama tokoh, waktu, serta tempat).
Kisah  Nabi  Musa  dalam  al-Quran  sendiri  tersebar  dalam  30 surat  dan  termasuk  kisah  yang  paling  banyak  dimuat  dalam  Al-Quran. Ada beberapa surat yang lengkap menerangkan kisah sosok sentral dalam agama Yahudi ini. Selebihnya, hanya potongan- potongan kisah dalam satu dua ayat  saja. Surat-surat yang cukup representatif menggambarkan kisah Nabi Musa adalah Q.S al-A'rāf, al-Kahfi, Thāha, as-Syu'arâ’, dan al-Qashash.  Sedangkan  surat-surat yang repetitif, segmentatif (sepotong-sepotong), dan global mengisahkan Nabi Musa adalah Q.S  al-Baqarah, Āli Imran, al-Māidah, Yūnus, Ibrahim, al-Isra, al-Hajj, al-Mukminūn, al-Furqān, al-Naml, al- Ankabūt, al-Mukmin, al-Dukhkhan, al-Shaff, dan al-Nāziat.[20]
Masa kecil Nabi Musa
Menjelang dewasa; petaka pembunuhan dan pelarian ke Madyan
Musa menikah
Musa ke Bukit Sinai pertama
Membebaskan Bani Israil dan menghadapi Fir’aun
Eksodus dari Mesir
Eksodus yang sarat polemik
Musa ke Bukir Sinai kedua
Kisah Qarun
Berguru kepada Khidhir


Kenapa Nabi Musa
1.      Ujian yang dialami Musa adalah ujian menjalani hidup di tengah masyarakat. Bukan ujian kemiskinan, ujian sakit, atau musibah bencana alam, dimana ujian ini, sangat mirip dengan apa yang akan dialami Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin yang menjadi umatnya.
2.      Orang-orang Yahudi dan Nasrani sudah terlebih dahulu mengetahuinya karena Nabi Musa adalah ikon bani Israil

Caranya
Pertama, mengumpulkan seluruh ayat tentang Nabi Musa; kedua, merekonstruksi ayat-ayat terkumpul dalam satu alur kisah dan membabakkannya; ketiga, menerjemahkan   ayat-ayat tersebut dalam suatu deskripsi-narasi yang bertutur untuk mendapatkan ilustrasi yang hidup.


[1] Amru Khalid, Qirâ’ah Jadîdah wa Ru’yah fî Qishash al-Anbiyâ’,(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2007), h. 12
[2] Muhammad Quthb, Dirâsât Qur’âniyah, ( Kairo: Dâr al-Syuruq, 1993), h. 101
[3] A. Hanafi, Segi-Segi Kesusastraan pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1984), h. 143
[4] Ahmad Amin, Fajr al-Islâm (Beirut: Dar Al Fikr, 1975), pada bab al-Quran
[5] Abd  al-Aziz  Muh.  Faishal,  al-Adab  al-Araby  wa  Târîkhuh,  (Arab Saudi:  Departemen Pendidikan Tinggi ,1114 H), h. 28
[6] Muhammad Abd al-Rahim, Mu’jizât ‘Ajâ’ib min al-Qur’ân al-Karîm, (Beirut: Dar al- Fikr,1995), h.159
[7] Afif Abdul Fatah Thabarah, Rûh al-Dîn al-Islâmy, (Beirut: Daar al-Ilm li al-Malayîn, 1999), h. 47
[8] Bakri Syaikh Amin, al-Ta’bîr al-Fanny fî al-Qur’ân al-Karîm, (Beirut: Dar al-Ilm li al- Malayîn, 1993), hh.226-227
[9] Sayid Qutb, al-Tashwîr al-Fanny fî al-Qur’an (Kairo: Dar al-Syuruq, 1972), h. 143
[10] Sir Wiliam Muir, The Coran, (New York: E.&J.B. Young &co, 2006), h.h.6-7
[11] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Yogjakarta:FkBA,2001), h.25
[12] Sayid Qutb, Al-Tashwîr al-Fanny fî al-Qur’an, h.h.155-169
[13] Muhammad Ahmad Khalafullah, al-Fann al-Qashashi fî  al-Qur’ân terj. Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 101. Muhammad Ahmad Khalafullah adalah nama kontroversial saat menyatakan dalam disertasi doktoralnya bahwa Al-Quran tidak dapat dijadikan sebagai referensi sejarah par excellent. Mayoritas ulama puritan menolak pandangan tersebut. Dengan pernyataannya tersebut, mereka menilai bahwa Khalafullah telah menganggap kisah- kisah dalam al-Quran adalah tidak historis atau khoyyâl (ilusi-imajinatif) atau paling tidak bercampur dengan imajinasi kesusastraan. Hal itu bertolak belakang dengan keyakinan  umat  Islam  tentang  validitas  dan  akurasi  al-Quran  yang  tak  dapat ditawar-tawar karena merupakan sesuatu yang berasal dari Yang Haqq; Yang Mahabenar. Manna' Khalil al-Qatthan, ulama Saudi Arabia yang kitab studi al- Qurannya menjadi salah satu rujukan pokok di berbagai perguruan tinggi Indonesi, termasuk yang menyayangkan pandangan Muhammad Ahmad Khalafullah. Lihat Mannâ' Al-Qatthân, Mabâhits fi Ulûm al-Quran, (Riyâdh: Mansyûrât al-`Âshr al- Hadîts, 1973), 308
[14] Abdul Azhim Ibrahim Muhammad Al-Mu’thini, Khashâ’ish al-Ta’bîr al-Qur’âny wa Simâtuhu al-Balâghiyah juz 1, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1992), h. 334
[15] Abdul Azhim Ibrahim Muhammad Al-Mu’thini, Khashâ’ish al-Ta’bîr al-Qur’âny wa Simâtuhu al-Balâghiyah juz 1, h. 334
[16] Kamil al Najjâr, Qirâ’ah Manhajiyyah li al-Islâm, (Tripoli: Tâlah, 2005), hh. 123-124
[17] Kamil al Najjâr, Qirâ’ah Manhajiyyah li al-Islâm, hh. 123-124
[18] Tahani binti Salim bin Ahmad Bahuraits, Âtsâr Dilâlah al-Siyâq al-Qur’âny fî Taujîh Ma’na al-Mutasyâbih al-Lafzhy fî  al-Qashash al-Qur’âny, Risâlah al-Majistîr, (Mekkah: Jami’ah Ummul Quro, 2007). h. 3
[19] Tahani binti Salim bin Ahmad Bahuraits, Âtsâr Dilâlah al-Siyâq al-Qur’âny fî Taujîh Ma’na al-Mutasyâbih al-Lafzhy fî  al-Qashash al-Qur’âny, h. 3
[20] Syukron Affani, “Rekonstruksi Kisah Nabi Musa dalam Al-Qur’an: Studi Perbandingan dengan Perjanjian Lama”. Jurnal al-Ihkam. Vol. 12. No. 1 Juni 2017, h. 175